Anggota Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) Martina Sawi menegaskan kekerasan terhadap perempuan dan anak harus diselesaikan melalui proses hukum.
Hal itu disampaikanya kepada papuakini,net usai Pokjanya di MRPB melakukan monitoring terkait kekerasan terhadap perempuan di Kabupaten Kaimana dan Kabupaten Teluk Wondama.
“Kami tentu tidak setuju, apalagi dalam kasus-kasus yang bersifat menjatuhkan harkat dan martabat perempuan. Kasus-kasus itu tidak bisa diatur secara adat, tetapi harus secara hukum yang berlaku di negara Republik Indonesia,” tegasnya.
Dia berpendapat penyelesaian melalui jalur hukum akan memberikan efek jera kepada pelaku tetapi juga meminimalisir terjadinya hal serupa dikemudian hari.
“Persoalan yang bisa diselesaikan secara adat adalah kasus perkelahian yang tidak sampai menimbulkan korban atau merugikan fisik dari pihak lain. Contohnya seperti pertengkaran mulut,” kata Martina Sawi via tefon seluler, Senin, 30 Juni 2025.
Dia juga menyoroti minimnya anggaran pemberdayaan perempuan dan anak yang dialokasikan oleh pemerintah daerah khususnya di Kabupaten Kaimana tetapi juga kabupaten lainya di Papua Barat.
Berdasarkan informasi yang diperoleh timnya saat monitoring di Kaimana, ada sejumlah program pemberdayaan dan perlindungan terhadap perempuan dan anak yang tidak bisa terealisasi karena faktor ketersediaan anggaran.
“Saat kegiatan kami di Kaimana, mereka dari dinas teknis tidak hadir secara resmi, namun melalui informasi yang kami dapat memang demikianlah yang terjadi,” ungkapnya.
Padahal seharusnya ada Dana Otsus yang bisa dialokasikan oleh pemerintah daerah untuk program-program pemberdayaan dan perlindungan terhadap perempuan dan anak, khususnya bagi Orang Asli Papua.
Terlepas dari persoalan anggaran, Martina Sawi juga mengucapkan terimakasih pada masyarakat di Kabupaten Kaimana, karena data kepolisian menunjukkan khusus di tahun 2025 belum ada kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Hal ini menurutnya harus dipertahankan oleh seluruh masyarakat yang ada di Kabupaten Kaimana tanpa terkecuali, baik itu Orang Asli Papua maupun yang non Papua.
“Perempuan di Kabupaten Kaimana juga meminta agar ada Perda yang dibuat oleh pemerintah dalam rangka melindungi hak-hak perempuan Papua. Kami berharap nantinya kabupaten Kaimana dapat menjadi ukuran bagi kabupaten-kabupaten lain di Papua Barat,” tutupnya. (yos)