Oleh:
Dr. Ir. Agus Irianto Sumule
Akademisi
(Saya harus menarik nafas dalam-dalam dulu baru menulis hal di bawah ini.)
Pagi ini saya menelepon salah seorang pejabat pemerintah di tingkat kabupaten/kota di Tanah Papua. Saya menanyakan apakah kabupatennya sudah memulai kerja sama dengan perguruan tinggi yang memiliki kompetensi mencetak tenaga guru SD di tahun anggaran 2022 ini.
Pejabat itu menjawab, bahwa program itu sementara dianggarkan untuk tahun 2023.
Kemudian saya lanjut bertanya, “Dana pendidikan untuk tahun 2022 digunakan untuk apa? Dana Otsus yang dialokasikan lebih dari 25 miliar rupiah untuk pendidikan di kabupaten Bapak itu dipakai untuk apa?”
Beliau menjawab, “… untuk membayar utang-utang lalu yang terkait dengan pendidikan.”
Saya sampaikan kepada beliau, “Ini aneh sekali. Seharusnya pemerintah [nama kabupaten/kota tersebut] yang berutang kepada masyarakat. Ada [hampir 7.000 anak] yang tidak bersekolah, di antaranya [1.500] anak SD. Kepada mereka inilah pemerintah … berutang!
Hingga hari ini, tanggal 5 Oktober 2022, tidak ada satu pun pemerintah kabupaten/kota di seluruh Tanah Papua yang mengalokasikan anggaran tahun 2022 untuk menyelesaikan masalah pembangunan paling krusial di Tanah Papua: ada hampir 500.000 penduduk usia sekolah yang tidak bersekolah.
Untuk mendidik mereka guru-guru harus direkrut. Tanah Papua kekurangan paling sedikit 33.000 orang guru,belum termasuk untuk menggantikan guru-guru yang mangkir mengajar. Tidak ada upaya itu sama sekali.
Pertanyaan kita: total dana Otsus 1,25% setara DAU Nasional tahun 2022 sebesar Rp900 miliar lebih, yang dialokasikan untuk pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Provinsi Papua, dan Rp1,25 triliun untuk provinsi dan kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat, digunakan untuk apa?
Siapa yang harus bertanggung jawab untuk memberikan hak konstitusional dalam bentuk pendidikan yang bermutu bagi ke-500.000 anak/penduduk usia sekolah yang tidak bersekolah di Tanah Papua?(*)